Kera besar itu terkenal cerdik dan sulit ditangkap. Ia tahu kapan warga lengah, bahkan tampak seperti mengatur strategi bersama kelompoknya. Beberapa kali warga mencoba mengusir mereka dengan api, suara petasan, dan jebakan, tetapi semua usaha gagal. Justru, setiap kali mereka kembali, kerusakan yang ditinggalkan semakin parah. Buah-buahan habis, pohon rusak, bahkan beberapa peralatan pertanian ikut dihancurkan. “Raja Monyet” seolah menantang manusia — datang dan pergi sesuka hatinya.
Kemarahan warga pun memuncak. Setelah berkoordinasi, beberapa pemburu lokal dipanggil untuk membantu menyingkirkan ancaman ini. Dengan penuh kewaspadaan, mereka menelusuri jalur di sekitar kebun, menunggu saat yang tepat untuk menangkap hewan yang selama ini menjadi momok bagi desa. Hari itu pun tiba — ketika “Raja Monyet” kembali memimpin serangan besar ke kebun pisang. Warga dan pemburu sudah siap. Dengan strategi yang matang, mereka mengepung kawasan kebun dan akhirnya berhasil menjatuhkan sang penguasa hutan kecil itu.
Teriakan lega dan sorakan warga pun pecah. Bagi mereka, tumbangnya kera tersebut berarti berakhirnya penderitaan panjang. Namun di balik sorak kemenangan itu, ada juga rasa sedih dan refleksi. Beberapa warga menyadari bahwa hewan-hewan itu mungkin hanya berusaha bertahan hidup karena hutan tempat mereka tinggal semakin sempit akibat perluasan lahan manusia. Habitat yang rusak memaksa mereka mencari makan ke kebun warga — dan akhirnya berujung pada konflik berdarah seperti ini.
Kisah “Raja Monyet” menjadi gambaran nyata hubungan rapuh antara manusia dan alam. Ketika keseimbangan ekosistem terganggu, selalu ada pihak yang harus menderita — baik manusia maupun hewan. Walau warga merasa lega, kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran penting: menjaga alam berarti menjaga kehidupan bersama. Jika hutan tetap lestari, mungkin “Raja Monyet” tidak perlu turun ke kebun dan pertempuran ini tidak akan pernah terjadi.
