
Di pedesaan yang dikelilingi ladang dan perkebunan, warga menghadapi ancaman yang tak pernah berhenti — kawanan kera liar yang datang menyerang tanaman mereka. Dalam beberapa bulan terakhir, populasi kera meningkat tajam, membuat para petani kewalahan. Tanaman seperti pisang, jagung, dan singkong menjadi sasaran utama, habis dalam sekejap oleh serangan kera yang datang berkelompok dan sangat cerdik.
Kehancuran hasil panen membuat warga putus asa. Setelah berbagai cara pengusiran gagal — mulai dari membuat suara keras, menyalakan api, hingga memasang pagar bambu — satu-satunya pilihan yang tersisa bagi mereka adalah berburu. Warga kemudian beramai-ramai melakukan perburuan kera liar untuk melindungi lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Meski terlihat kejam, aksi ini dilakukan bukan karena kebencian, tetapi karena kebutuhan bertahan hidup. Bagi petani kecil, kehilangan hasil panen berarti kehilangan harapan. Namun di sisi lain, para pemerhati satwa menilai bahwa konflik ini adalah akibat dari rusaknya habitat alami kera. Pembukaan lahan dan penebangan hutan memaksa mereka mencari makanan di kebun warga.
Kini, muncul dilema besar antara melindungi penghasilan manusia dan menjaga keseimbangan alam. Beberapa kelompok konservasi mulai memperkenalkan cara damai seperti menanam pohon penghalang, menciptakan zona hijau, atau membuat sistem peringatan suara untuk mengusir kera tanpa melukai.
Kisah ini menjadi cerminan nyata betapa rapuhnya hubungan antara manusia dan alam. Saat habitat satwa terus berkurang, konflik seperti ini tak terhindarkan. Dan di tengah tekanan ekonomi dan kerusakan lingkungan, perburuan kera liar terus menjadi jalan terakhir bagi mereka yang berjuang mempertahankan hidup.