
Petani di wilayah pedesaan kembali menghadapi musuh tak terduga: kera liar yang menyerang kebun dan lahan pertanian mereka. Ketika kawanan kera memasuki perkebunan dan ladang, kerusakan tak hanya dirasakan dari sisi ekonomi petani—namun juga menimbulkan konflik antara manusia dan satwa yang semestinya hidup berdampingan dengan alam. Di tengah situasi ini, tindakan tegas seperti pengusiran bahkan penembakan pun muncul, menimbulkan dilema moral dan lingkungan.
Rasa frustrasi petani sangat wajar. Ada banyak laporan yang menyebut bahwa kera–termasuk jenis seperti Macaca fascicularis (kera ekor panjang)–mulai turun dari habitat mereka ke lahan pertanian karena stok pakan di hutan alami makin menipis. Sebagai contoh, di daerah pegunungan dalam musim kemarau, kawanan kera muncul ke ladang dan kebun rakyat karena pohon buah tak lagi berbuah sebagaimana mestinya. Kr Jogja – Paling Mengerti Jogja+2Republika Online+2
Karena jumlah yang semakin banyak dan aktivitasnya makin merusak, petani merasa tak punya banyak pilihan selain melakukan langkah ekstrem. Beberapa menggunakan jebakan, pagar kawat, dan anjing penjaga. Namun solusi sementara ini seringkali belum memadai. Antara News+2ANTARA News Kalimantan Selatan+2 Bahkan dalam beberapa kasus, tindakan pengusiran gagal dan pelaku pindah atau muncul kembali. Republika Online+1
Apa yang terjadi? Sebuah konflik nyata antara kebutuhan manusia untuk bertani dan kebutuhan satwa untuk mencari makan. Ketika habitat kera rusak atau makanan di hutan menipis, mereka “memilih” untuk turun ke perkebunan manusia. Balai TN Gunung Ciremai+2Kr Jogja – Paling Mengerti Jogja+2 Dari sisi petani, kerusakan yang diakibatkan bisa signifikan—tanaman sayur, buah, kacang-kacangan, hingga tanaman pokok bisa rusak, dipanen secara prematur atau dicuri. Antara News+1
Namun, pilihan untuk “menembak mati” kera yang masuk ke kebun bukan tanpa konsekuensi. Dari perspektif konservasi, tindakan mematikan satwa liar seringkali melanggar prinsip kelestarian dan bisa memperburuk persepsi negatif terhadap satwa tersebut. samboja.bsilhk.menlhk.go.id+1 Satwa tersebut bisa jadi dilindungi secara hukum atau memainkan peran penting dalam ekosistem hutan yang lebih luas.
Kondisi ini juga menunjukkan bahwa solusi jangka panjang diperlukan. Bukan hanya sekedar pengusiran atau pembunuhan, tapi pengelolaan habitat, pemulihan sumber pakan alami satwa, dan metode mitigasi konflik manusia-satwa. Misalnya, pemasangan pagar, pengawalan lahan pada waktu-waktu kritis, atau pergeseran komoditas pertanian ke yang kurang menarik bagi kera. Balai TN Gunung Ciremai+1
Di sisi kebijakan, pihak berwenang dan komunitas pertanian harus berkolaborasi. Petani butuh dukungan teknis dan finansial untuk menerapkan solusi yang lebih ramah lingkungan, sementara satwa liar butuh ruang dan sumber daya agar tidak terdorong ke konflik. Tanpa upaya terkoordinasi, konflik ini bisa terus berulang—dengan kerugian bagi manusia dan kerusakan atau kematian bagi satwa.
Singkatnya: cerita “sadis” menembak kera yang memasuki perkebunan hanyalah puncak dari masalah yang lebih besar—yakni rusaknya habitat, tekanan pada satwa liar, dan kebutuhan manusia akan lahan pertanian yang aman. Solusi yang hanya bersifat reaktif akan terus memunculkan siklus konflik. Diperlukan pendekatan yang bijak, adil dan berkelanjutan untuk manusia dan alam.
Jika Anda mau, saya bisa menelusuri data spesifik di Kamboja atau Asia Tenggara (karena Anda di Phnom Penh) tentang konflik petani-kera lalu kita bisa melihat studi kasus dan solusi lokal. Mau saya cari?